Senin, 14 September 2015

Mati Rasa

Ketika hati memilih diam dan hening
Tak menyapa dan berusaha menjadi mati rasa
Tak ada lagi kata manis, asin, dan pahit
Karena semuanya sama tanpa rasa

Luka dihati yang masih menganga
Tak ada obat yang mampu menyembuhkannya
Hanya cuka dan air keras yang mampu menbuatnya tak lagi mati rasa

Entahlah...
Kutilang masih berkicau dan bercerita
Meskipun merpati telah siap meninggalkan sangkarnya
Entahlah...
Bukan sekedar sebuah cerita ulasan
Tetapi juga bukan hujatan
Hehmhh...

Kehadiran yang tak diharapkan
Kepergian yang tak diinginkan
Apa gerangan yang kau inginkan
Aku hanya mampu melukiskan kekecewaan

Menara Cahaya : Akankah?

Kaki hanya mampu berdiri tegak dan diam
Tangan bersembunyi kebelakang badan
Mulut kaku untuk mengucap sesuatu

Diamnya kaki bukan karena tak lagi mampu melangkah
Bersembunyinya tangan bukan karena tak lagi mampu menggenggam
Heningnya lisan bukan karena ia tunarungu

Tembok itu tidak sekokoh dulu
Tembok itu tidak sekuat dulu
Tembok itu tidak seindah dulu

Tembok itu tak lagi kuasa menahan hembusan angin yang terus berhembus
Tembok itu tak lagi memberi ruang untuk coretan keluh kesah pejuang
Tembok itu kini hanyalah tembok yang berfungsi sebagai pembatas

Mungkinkah menara cahaya itu berdiri dengan sempurna.
Sedangkan aku,kamu, dan kita enggan menjadi penyempurnanya.

Minggu, 13 September 2015

Rindu

Wahai Rindu
Bagaimana aku mengutarakanmu kepada orang yang tak tau kini dimana keberadaannya.          
Entahlah...
Entah siapa, entah dimana, entah kapan akan dipertemukan oleh-Nya.

Wahai Rindu
Kau memilukan bagi diri ini.
Hanya tatapan mata yang mengarah pada langit
Hanya gumam cinta yang tak tau kapan dia berlabuh
Mungkinkah kini dia menatap langit yang
 sama denganku?

Wahai Rindu yang menyesakkan qolbu.
Kau hadir bagai fatamorgana
Entah dimana, siapa dan bagaimana mengutarakan mu wahai rindu.

Wahai Rindu
Ku mohon berdamailah padaku
Berdamailah pada hatiku
Agar aku mampu melatakkanmu ditempat yang tepat lagi syahdu
Yaitu dalam doa di sepertiga malamku.

Saatnya Hati Bicara

Tangan sangat lihai menuliskan segala cerita.
Meskipun semua tak seperti realita yang ada.
Mulut sangat pandai merangkai kata indah.
Meskipun kalimat dusta yang terlontar olehnya.

Seelok apapun tangan menuliskan.
Seindah apapun mulut melontarkan.
Namun hati tak akan mampu mengubah hitam menjadi putih.

Belajar menjadi yatim piatu dalam jalan yang terjal.
Belajar menjadi kotak sampah di taman kota yang indah.

Meskipun terkadang berusaha menjadi pelangi namun tak diharapkan kehadirannya.
Meskipun menjadi badai yang tak disukai kedatangannya.

Sulit memisahkan antara mata, telinga dan perasaan.

Senin, 07 September 2015

Masih sanggupkah?

Tidur yang sangat melelapkan, sampai tak terasa jika mentari telah melanglang buana dalam kehidupan di muka bumi. Seketika itu sinar kesahduan menyinari wajah yang terlahir tanpa ekspresi, menyilaukan mata yang semenjak semalam enggan menyapa dunia sehingga dengan terpaksa bola mata berontak hingga membuka peluang perjuangan untuk hari ini.
"Ehmh, sudah siang ternyata" sosok perindu kenyamanan dalam sentuhan syahdu benda yang memberikan kenyamanan untuk merangkai mimpi indah yang semu. Semangat cahaya mentaru terlihat menampakkan butir debu yang beterbangan disudut ruang itu.
"Alhamdulillahhilladziahyanaba'damaamatanawailaihinusur" seketika pejuang terbangun dan berdiri serta segera membuka jendela agar cahaya cinta mentari mampu menebar cinta keseluruh penjuru bumi.
"Behh, silau bro"-"Assalamualaikum dunia" adakah cinta yang tulus bagiku hari ini?" Sahut sang pejuang.
Kini pejuang sedang merasakan gundah gulana, hatinya tak mampu bersatu membentuk menara ikhlas agar kaki mampu melangkah lebih jauh. Entah apa penyebabnya pejuang kini memilih menyendiri dan membatasi berkomunikasi dengan pejuang lain yang dulu membersamainya.
"Kaki masih ingin dan sanggupkah kau melangkah ? Wahai hati masih sanggupkah kau menahan kesabaran dijalan ini? Wahai tangan masih mau dan mampukah engkau mengegnggam tangannya dan berjuang bersamsama ? Wahai lisan masih kah kau setia memberi nasihat untuk kebaikan? Wahai telinga masih kau bersedia mendengar keluh kesah adikmu yang masih berjuang?" Gumamnya dalam hati.
Tetes air mata tak mampu ditahan, dia jatuh seiring dengan pergerakkan pikiran yang memutar kejadian hari itu.

Rabu, 02 September 2015

Matahari dan Bumi

Matahari masih bersinar dan tidak pernah henti menmberikan cahayanya kepada kekasihnya si bumi.
Tidak pernah berlebihan caranya mencintai, tidak pernah dia berikrar untuk mendekati sang bumi apalagi ingin mememluk sang bumi.
Andaikan manusia seperti matahari dan bumi dalam menimplementasikan nikmat cinta.
Tidak perlu berkomunikasi
Tidak juga harus berjumpa
Tidak harus selalu bersama
Akan tetapi selalu memberi kebermanfaatan atas kecintaan kepada sang pemilik alam semesta.
Tidak pernah matahari mencintai secara berlebihan,
Terkadang terik, terkadang sejuk, dan terkadang tidak memberikan cahya sesuai dengan kebutuhan sang bumi.
Tidak pernah keduanya  saling sapa apalagi saling sentuh dan berikrar untuk saling memiliki.
Karena keduanya tahu cinta-Nya saja sudah cukup.
Iya Cukup!
MEngapa harus saling berjumpa
Mengapa harus saling sentuh
Mengapa harus saling berikrar untuk saling mencintai
Namun akhirnya terbakar karena panasnya nafsu yang membara